Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-Undang Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan, standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Perubahan tersebut tentunya harus disikapi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’ sesuai standar. Apalah artinya kewenangan dan kekuasaan yang luas dan besar ketika tidak diimbangi perbaikan ke dalam khususnya terkait perangkat lunak pemeriksaan. Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai SPKN, PMP, kode etik, petunjuk pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, kualitas hasil pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak laporan yang menyatakan bahwa auditor sering mengandalkan intuisinya sebagai pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan.
Auditor cenderung terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus dipegang dalam memainkan perannya sebagai auditor. Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya. Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.
Ada kisah suatu kantor akuntan publik yang memeriksa BUMN tidak dapat menunjukkan KKP ketika direviu oleh auditor lain. Padahal, opini BUMN tersebut katanya WTP. Entah Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Tanpa “Pemeriksaan.”
Semoga hal ini tidak terjadi bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), yang apabila ternyata pemeriksanya tidak dapat menunjukkan KKP hasil pemeriksaan ketika direviu.
Disarikan dari Editorial Majalah Pemeriksa_BPK-RI
edisi NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
No comments:
Post a Comment