08 November 2010

Satria Pengawasan


Menjadi Pengawas Keuangan Negara adalah sebuah kehormatan dan kebanggaan. Pada pundaknya masyarakat mengharapkan adanya pencegahan atau pengungkapan atas penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Citra diri yang teliti, smart serta berwibawa melekat pada dirinya, hingga setiap kata terucap selalu dicermati dan ditunggu oleh banyak pihak. Jika memutar kembali mesin waktu, memandang seorang auditor bagaikan memandang seorang satria yang gagah berani dengan mahkota dan pedang di tangan. Kehadirannya dapat menggetarkan hati dan memberi pancaran aura kehormatan dan kemuliaan yang memukau.

Kehormatan seorang satria ditentukan oleh ketajaman pedang dan kebesaran mahkotanya. Makin tajam pedangnya, maka ia akan semakin disegani oleh kawan dan lawannya. Semakin indah dan besar mahkota yang dikenakan, maka semakin besar kemuliaan dan kehormatan yang melekat.

Tak beda dengan seorang satria, kehormatan dan kemuliaan seorang pengawas atau auditor juga ditentukan oleh ketajaman pedang serta kebesaran mahkotanya. Bedanya, ketajaman pedang seorang auditor adalah pengetahuan dan skill yang dimilikinya, sedangkan mahkotanya adalah kejujuran yang melekat pada dirinya. Pengetahuan dan skill seorang auditor bagaikan sebuah pedang sakti yang mampu membabat habis semua musuh. Semua kesulitan yang dijumpai saat melakukan tugas audit, akan dapat dihadapi jika sang auditor memiliki pengetahuan dan skill yang memadai. Sedangkan kejujuran seorang auditor bagaikan mahkota indah yang membawa kehormatan bagi pemakainya. Apapun hasil audit yang yang ditemukan, takkan berarti banyak bagi negara jika berada di tangan auditor yang tidak jujur.


Seorang auditor yang jujur tetapi tidak dilengkapi pengetahuan dan skill yang memadai, dia bagaikan seorang satria bermahkota indah dengan pedang yang tumpul. Saat melaksanakan tugas, dia bisa maju menebas musuh, tetapi tidak dapat membunuhnya. Artinya, audit yang dilakukan tidak akan efektif dalam mencegah atau menemukan penyimpangan yang terjadi. Orang sekitarnya akan tetap menghormatinya, tetapi tidak mengharapkan rekomendasi yang dapat memberi perbaikan. Dari dirinya, audit hanya sekedar formalitas belaka.


Sebaliknya, seorang auditor yang pandai tetapi tidak memiliki kejujuran dan integritas, dia bagaikan satria tanpa mahkota. Kehadirannya bagai seorang preman yang siap membabat habis siapapun yang menyinggung hatinya. Auditor ini hanya akan membuat orang takut pada diri pribadinya, tetapi tidak ada rasa hormat karena tidak memberikan perbaikan apapun pada obyek yang diperiksa. Kepentingan dirinya selalu ditempatkan di atas kepentingan negara. Dari dirinya, audit menjadi sebuah pembusukan pada proses manajemen yang sehat.


Pada era keterbukaan seperti saat ini, dimana tuntutan akan terwujudnya sebuah tata kelola kepemerintahan yang baik menjadi semakin tinggi, menuntut hadirnya satria-satria sejati di bidang pengawasan. Dengan pedang yang tajam di tangan dan mahkota yang indah di kepala, para satria auditor diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi institusinya. Saat ini bangsa Indonesia membutuhkan auditor-auditor yang berpengetahuan dan menegakkan kejujuran. Dari satria pengawas-lah sebuah tata kelola kepemerintahan yang baik akan dapat diwujudkan di bumi tercinta ini… bukan dari preman pengawas, cicak pengawas atau buaya pengawas.



(Artikel ini dimuat sebagai editorial Majalah Warta Pengawasan edisi Desember 2009)

No comments:

Post a Comment